Jumat, 22 September 2017

KITA HIDUP DI TENGAH PERADABAN HOROR?

Benarkah kita hidup di tengah peradaban horor? Bagaimana kita mesti memaknai meruyaknya berbagai bentuk kekerasan, korupsi, manipulasi, atau kejahatan yang tampil begitu telanjang dan vulgar di depan mata kita? Haruskah kita terus tenggelam dalam kubangan budaya “horor” yang nyata-nyata telah menanggalkan hakikat kemanusiaan kita yang tanpa disadari telah menjadikan kita sebagai sosok-sosok buas dan kanibal yang rela memangsa sesamanya demi memuaskan hasrat kebuasan hati?
Image result for KITA HIDUP DI TENGAH PERADABAN HOROR

Pascakemerdekaan, setidaknya kita telah melampaui tiga orde, yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Namun, banyak kalangan menilai, dari tiga orde yang kita lalui, (nyaris) belum manghasilkan perubahan yang mampu mengangkat harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang berdaulat, bermartabat, dan terhormat. Situasi transisi dari satu orde ke orde berikutnya, selalu saja menampilkan drama horor yang ber-ending tragis; yang telah meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.

Era Orde Lama, misalnya, telah menghasilkan manusia Indonesia sebagai “manusia ideologis”, yaitu manusia yang sarat dengan ide dan slogan-slogan ideologis. Berbagai slogan rakyat sebagai “pejuang”, sebagai “berdiri di atas kaki sendiri”, sebagai “nasionalis” menjadi bagian realitas manusia Orde Lama (Orla). Meski demikian, Orla gagal meningkatkan harkat kemanusiaan itu sendiri, disebabkan kegagalannya dalam memenuhi satu dimensi kemanusiaan, yaitu dimensi ekonomi. Kekerasan berlangsung karena ideologi dan kemiskinan.

Era Orde Baru, telah menghasilkan “manusia-manusia mekanis”, yakni manusia-manusia pembangunan yang pikirannya justru dikosongkan dari ideologi-ideologi, untuk kemudian diisi dengan satu-satunya “ideologi”, yaitu ideologi pembangunanisme. Manusia kemudian menjadi sekumpulan komponen dari “mesin pembangunan”, yang di dalamnya berlangsung industrialisasi pikiran, berupa penyeragaman, standardisasi dan pembatasan-pembatasan terhadap manusia. Di dalamnya, berlangsung berbagai bentuk kekerasan dan in-humanitas, seperti penculikan, penyekapan, penangkapan paksa, ketimpangan, marjinalisasi, peminggiran, pemaksaan, represi, subordinasi, jual paksa, penyerobotan hak milik, perampasan hak pribadi menjadi bagian dari mesin pembangunan yang tidak manusiawi.

Sementara itu, pada era Reformasi –disadari atau tidak—telah terjadi fragmentasi besar-besaran manusia sebagai akibat terbukanya pintu demokratisasi dan kebebasan. Akan tetapi, ironisnya, iklim reformasi justru telah menciptakan manusia- manusia yang kini lebih mementingkan diri sendiri, yakni manusia-manusia yang dapat melakukan apa saja terhadap manusia lain dan melahirkan juga manusia-manusia buas yang dapat menerkam dan memangsa sesamanya demi memenuhi hasrat dan kepentingannya; mereka suka mengeksploitasi manusia-manusia lain sebagai “manusia komoditas” yang dieksploitasi tenaga, tubuh dan keterampilannya, demi kepentingan ekonomi, politik, dan keselamatan pribadi. Tanpa disadari, bangsa kita telah menjadi “pemuja” ritual karnaval, retorika, pidato, pawai, atau demonstrasi, yang makin berdampak luas terhadap tatanan nilai dan norma-norma peradaban masyarakat.

Kini, sudah seabad lebih bangsa kita mengalami momentum kebangkitan nasional. Sudah selayaknya segenap komponen bangsa melakukan refleksi terhadap peradaban “horor” yang nyata-nyata telah kita rasakan amat mengusik nurani kemanusiaan kita. Semua pihak yang memiliki kekuatan untuk membangun peristiwa horor dengan segenap implikasi yang ditimbulkannya perlu melakukan “rehumanisasi” untuk menegakkan dan membangun kembali pilar-pilar kemanusiaan dan peradaban sipil yang (nyaris) runtuh.

Yang perlu segera dilakukan adalah meminimalkan efek-efek kerusakan dan mengontrol kompleksitasnya sehingga tidak jauh membentuk lubang-lubang kekerasan yang makin membuka dan meluas. Selain itu, aksi-aksi kemanusiaan yang sanggup membuka ruang untuk menumbuhsuburkan sikap toleransi, setiakawan, berdialog, dan berkomunikasi lintasbudaya perlu diagendakan agar mampu menciptakan generasi masa depan yang lebih toleran, inklusif, damai, dan ramah, yang tidak lagi menganggap dirinya sebagai kelompok primordial yang eksklusif, superior, dan dominan.

Dua tahun lagi, bangsa kita juga akan menggelar sebuah hajat besar yang akan ikut menjadi penentu masa depan negeri ini, yakni Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta Pemilu Legislatif untuk memilih wakil rakyat. Sungguh, tak ada alasan bagi siapa pun untuk membangun sebuah kekuatan “predator” yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekadar untuk memburu hasrat kepentingan dan kekuasaan semata. Segenap komponen bangsa juga perlu mengawal pesta dan hajat besar itu agar jangan sampai berubah menjadi “ladang kekerasan” yang bisa membuat peradaban horor di negeri ini kian memfosil dan menyejarah.

Roh para pendiri negeri ini tentu akan meratap dan menangis apabila negara-bangsa yang telah dibangun dengan susah-payah itu terpaksa harus bersimbah darah akibat pertarungan antarsesama anak bangsa hanya lantaran perbedaan paham dan kepentingan. ***

Pro-Kontra film G30SPKI, Nyata atau Hantu!

Kemarin pagi di acara AKI (Apa Kabar Indonesia) Pagi, sekitar jam 06.40 wib, TV One menghadirkan dr. Amoroso Katamsi, pemeran Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S PKI. Pak Amoroso Katamsi ditanya, umur berapa beliau ketika memerankan Soeharto. Dijawabnya ketika dimulai shooting tahun 1981 beliau berumur 43 tahun.
Lalu ditanya lagi umur berapa saat peristiwa G30S PKI terjadi. Beliau menjawab spontan "umur 27 tahun".
Image result for Pro-Kontra film G30SPKI, Nyata atau Hantu!
Ini artinya sinkron, beliau lahir tahun 1938.
Menurutnya saat itu dia sudah mahasiswa hampir selesai, tinggal menunggu pengambilan sumpah dokter saja.

Beliau lalu ditanya, apa yang diingatnya seputar kejadian tanggal 30 September  1965 dan sesudahnya.
Pak Amoroso menjelaskan bahwa dia ingat betul saat itu di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 sekitar jam 7 pagi, RRI menyiarkan pidato Letkol Untung yang mengklaim bahwa ada gerakan 30 September serta pembentukan Dewan Revolusi,  kemudian mendemisionerkan kabinet, dll. Pokoknya seperti yang ditulis dalam buku-buku sejarah.
Baru pada sore/malam harinya, dari RRI ada pidato Pak Harto.

Ketika dikonfirmasi apakah cerita yang ada dalam film yang dirinya ikut berperan didalamnya sesuai/sama atau tidak dengan kejadian sebenarnya di saat itu, tegas dr. Amoroso Katamsi menjawab "SAMA! Sama dengan yang saya tahu".
Apalagi beliau saat itu adalah yang berhadapan dengan PKI, karena dia tergabung dalam HMI.

Nah, kesaksian dari seorang Amoroso Katamsi yang saat itu sudah berusia 27 tahun, pemuda yang berpendidikan baik, cerdas (djaman doeloe bisa sekolah sampai jadi dokter disaat sebagian besar orang sebangsanya cuma tamat SD/SMP, tentu tidak sembarangan lho!), seorang aktivis mahasiswa saat itu,  semestinya lebih layak dipercaya ketimbang kesaksian seseorang yang kala itu masih bocah usia 6 tahun yang cuma tahu bahwa bapaknya tidak merokok. Tanyalah apa yang disiarkan RRI, pasti dia tidak tahu. Anak kecil mana mudheng siaran berita serius.

Cerita seorang berpendidikan dokter, asli tidak aspal, yang sepanjang hidupnya tidak bermasalah soal integritas dirinya, juga lebih layak untuk dipertimbangkan ketimbang cerita seseorang yang pernah melakukan tindakan kebohongan.

*** *** ***

Dua tahun lalu, September 2015, ketika ramai issu bahwa negara akan meminta maaf kepada PKI, plus adanya "pengadilan/gugatan" yang digelar di negeri Belanda, mengadili negara Republik Indonesia, dimana pak Todung Mulya Lubis dan ibu Nursyahbani Katjasungkana ikut hadir disana, acara ILC TV One juga mengupas seputar kejadian 30 September 1965.
Saat itu dihadirkan putera puteri jendral korban G30S dan juga anak tokoh PKI.
Putri para jendral yang  hadir saat itu ibu Amelia Yani dan ibu Catherine Pandjaitan.

Putri jendral Ahmad Yani, ibu Amelia Yani bercerita apa yang dia alami, lihat dan dengar sendiri malam itu. Pak Yani yang dibangunkan oleh pasukan Tjakra Bhirawa dan diminta segera ikut mereka dengan alasan dipanggil Paduka Jang Mulia (PJM) Presiden. Pak Yani meminta waktu untuk mandi dulu, namun tidak diijinkan karena harus cepat. Akhirnya Pak Yani menawar, setidaknya cuci muka dan ganti baju, namun anggota Tjakra Bhirawa yang sudah tidak sabar kemudian menembak Jendral Ahmad Yani dari belakang.

Apa yang diceritakan ibu Amelia Yani sama dengan yang ada dalam adegan film G30S PKI. Saat itu bu Amelia Yani usianya sudah belasan tahun. Artinya keterangan beliau cukup bisa dianggap valid.

Putri Jendral DI Pandjaitan, ibu Catherine, juga bercerita bagaimana beliau menyaksikan sendiri bagaimana proses ayahnya dibunuh dengan sadis. Saat itu usianya 17-18 tahun, dia melihat dari atas balkon rumahnya, ketika bapaknya dipukul dengan popor senjata kemudian ditembak tepat di kepala oleh Tjakra Bhirawa. Kemudian tubuhnya diseret sampai ke depan rumah. Lalu ketika di depan pagar rumah, tubuh jendral DI Pandjaitan dilemparkan lewat pagar kemudian dimasukkan ke dalam truk.

Catherine muda saat itu berusaha mengejar bapaknya yang diseret, tapi tentu saja tak terkejar. Dalam keputus-asaan dia histeris dan meraupkan ceceran darah bapaknya ke wajahnya. Catherine mengakui memang itu yang dilakukannya saat itu, sama persis dengan yang digambarkan dalam adegan film.

Kesaksian Catherine 2 tahun lalu, diulang tadi malam sekitar jam 8 di iNews TV. Ibu Catherine diwawancarai secara live by phone oleh host iNews, dan ditanya pendapatnya soal nyinyiran sebagian masyarakat yang mengatakan film G30S PKI adalah TIDAK SESUAI dengan kejadian sebenarnya alias TIDAK BENAR.
Catherine balik mempertanyakan : bagian mana yang tidak benar?!

Beliau kembali mengulang cerita kejadian 52 tahun lalu, sama persis dengan yang diceritakannya saat diundang hadir di ILC, 2 tahun lalu.
Sampai pada bagian dia melihat bapaknya dipukul dengan senjata lalu ditembak di kepala hingga otaknya berceceran, Catherine mengaku dia masih merinding saat menceritakan itu. Shocknya tidak mudah hilang bertahun-tahun karena dia menyaksikan sendiri kejadiaan malam itu, saat usianya 17 tahunan.

*** *** ***

Jajang C. Noor, istri almarhum Arifin C. Noor sang sutradara film G30S PKI, malam ini juga dihadirkan di iNews TV. Saat pembuatan film tersebut, Jajang menjadi pencatat adegan. Dia bercerita bahwa suaminya melakukan riset selama 2 tahunan untuk membuat film itu. Semua istri para pahlawan revolusi diminta menceritakan kejadian yang mereka alami saat rumah mereka mendadak didatangi pasukan Tjakra Bhirawa. Para ibu itu didampingi putra dan putrinya yang ikut menjadi saksi hidup. Khusus ibu Ahmad Yani yang malam itu tidak sedang berada di rumah, karena sedang di rumah dinas, kesaksian diberikan oleh anak-anak beliau. Bahkan ibu Ahmad Yani sampai nyaris pingsan ketika mengetahui bagaimana kematian suaminya.

Menurut Jajang, setiap peristiwa penculikan jendral shootingnya selama 1 minggu. Misalnya serangkaian shooting peristiwa penculikan dan pembunuhan Jendral Ahmad Yani, waktunya satu minggu. Shooting kejadian di rumah Pak Nasution juga satu minggu, begitu pula shooting di rumah korban yang lainnya.
Uniknya,  shooting schene penculikan secara tidak sengaja selalu tepat pada malam Jum'at. Sama dengan kejadian sebenarnya yang terjadi pada Kamis malam Jum'at.

Setiap shooting film, anggota keluarga jendral yang bersangkutan selalu hadir untuk menyaksikan adegan demi adegan, untuk memastikan akurasinya. Apalagi lokasi shooting memang di rumah kediaman tempat kejadian sebenarnya berlangsung.

Jadi, dimana letak ketidakbenarannya?!

Kalau soal Aidit merokok, diakui oleh Jajang bahwa itu memang tafsiran Arifin untuk menggambarkan seseorang yang sedang mencari ketenangan di tengah ketegangan, biasanya merokok. Efek asap diperlukan oleh sutradara untuk memberikan efek dramatisasi suasana.
Hal ini dibenarkan oleh Prof. Salim Said Selasa malam di acara ILC, bahwa tafsiran sutradara itu sesuatu yang LUMRAH untuk memberikan dampak dramatis dalam suatu adegan.

Jadi tidak layak diributkan, hanya karena adegan Aidit merokok maka semua adegan dalam film itu bohong.

Lagipula, Ilham Aidit hanya meributkan soal  bapaknya yang tidak merokok, bukan? Tapi dia tidak bisa membantah alur gerakan 30 September malam itu.  Anak umur 6 tahun mana tahu hal-hal  serius? Sesuai dengan usianya yang dia tahu hanyalah bermain, makan dan mungkin ingatan tentang kenangan manis bersama keluarga terdekat.

Ade Irma Suryani Nasution saat itu juga berumur 6 tahun. Dia juga tidak paham apa yang sedang terjadi malam itu.
Itu sebabnya dia tertembak. Kalau saja dia sudah dewasa atau minimal remaja, tentu nalurinya akan merasa takut dan logikanya pasti akan menuntunnya untuk berlindung, cari aman.
Justru karena dia bocah cilik lugu yang tak tahu apa-apa, maka malam itu dia menjadi martir.

*** *** ***

Soal dipilihnya Arifin C. Noor sebagai sutradara, Jajang bercerita saat itu Pak Dipo (G. Dwipayana), Direktur PPFN (Pusat Produksi Film Negara), mencari sutradara yang akan diminta untuk membuat film sejarah tentang peristiwa G30S PKI.
Goenawan Mohammad menyarankan nama Arifin C. Noor dan Teguh Karya sebagai sutradara kawakan saat itu.
Pak Dipo kemudian memilih Arifin.

Jadi, kalau akan dibuat film baru soal peristiwa G30S PKI, sanggupkah menghadirkan saksi mata yang masih hidup dari setiap pelaku dan korban?!
Istri para Jendral pahlawan revolusi, setelah 52 tahun berlalu, saya yakin sudah banyak yang wafat (atau malah sudah wafat semuanya?).
Putera puteri para pahlawan revolusi yang saat peristiwa itu terjadi berusia setidaknya 17 tahun, sekarang mestinya berusia 69 tahun.

Masa iya yang akan dijadikan rujukan adegan adalah anak usia 5-6 tahun saat itu? Malah jadi meragukan dan konyol.
Alih-alih membuat film yang lebih akurat, bisa jadi malah makin banyak meleset dari aslinya.
Jangan sampai nanti para jendral yang sudah mengorbankan nyawanya itu justru jadi tokoh antagonis dan para anggota PKI justru jadi "korban" yang layak diberi simpati.

PKI kan bukan hanya 30 September 1965 saja melakukan pemberontakan keji dan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Bukankah tahun 1926-1927 dan tahun 1948 PKI juga memberontak??!

Anehnya, mereka yang ngotot PKI tidak bersalah dan hanya jadi korban, biasanya tidak mampu menjawab kalau disodorkan fakta pemberontakan PKI tahun 1948.
Itu sebabnya mereka hanya berputar-putar di seputar peristiwa G30S PKI saja.
Tak ada argumen apapun yang mampu menyanggah kekejaman PKI tahun 1948.

Kalau mau membuat film tentang PKI, sekalian saja dibuat panjang, mulai pemberontakan tahun 1926-1927 dan tahun 1948. Agar generasi muda sekarang lebih bisa memotret sejarah secara utuh dan mendapat gambaran tentang PKI dengan lebih komplit.

Embie C. Noor,  adik almarhum Arifin C Noor, yang menjadi ilustrator musik di film G30S PKI, mengatakan senang sekali jika film bisa dibalas dengan film juga.

Tapi yang terpenting jangan ada pemutarbalikan sejarah!

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Hanya masalah rokok, mereka minta film baru versi anaknya Aidit. Sedangkan nyawa ribuan org ga dipedulikan...

Dalam tayangan ILC semalam, anak Aidit protes karena sutradara film pemberotakan G 30S PKI Arifin C Noor, tidak melakukan riset terhadap ayahnya sebelum membuat film tersebut, yang dia protes adalah bahwa ayahnya bukanlah perokok, dia terbatuk-batuk saat dipaksa merokok oleh Fidel Castro.

Lalu saya teringat sebuah buku yang pernah saya baca. Saya tertawa membayangkan bagaimana anak menurunkan gen bapaknya yang sama-sama pendusta, karena dia jelas2 sedang berdusta.

Dulu Aidit membantah habis-habisan adanya dokumen yang mengatakan PKI berada dalam kondisi combat ready, tapi kemudian terbukti melakukan kudeta yg memakan korban jiwa.

Sekarang anaknya membantah bahwa bapaknya bukan seorang perokok yg seolah ingin menggambarkan betapa banyak fakta keliru soal PKI yg tidak seseram seperti yang digambarkan hari ini,  tapi fakta bicara lain.

Jakoeb Oetama pemilik kompas hari ini, pernah mewawancarai aidit di tahun 1964, setahun sebelum peristiwa Gestapu.

Jakob tidak lupa mencatat, selama dua jam melakukan wawancara khusus, "Bung Aidit banyak merokok dan minum kopi. Salah seorang sekretaris merangkap pengawal pribadinya, ikut hadir selama wawancara berlangsung, setiap kali dia menyalakan rokok untuk bung Aidit, saya selalu terkejut,.... karena korek apinya berbentuk pistol.
(Buku G30S PKI Fakta atau Rekayasa, catatan Julius Pour)

Selasa, 05 September 2017

Perjalanan 'Kontrak Mati' Soeharto Membantu Muslim Bosnia

TAK GENTAR MENEMBUS SARAJEVO

Ketika saat ini lagi ramai issue Rohingya, baca: Rohingnya Butuh Doa dan Lobi Diplomasi, maka ingatan melayang di pertengahan tahun 90-an.
Jika masih ada yang ingat Pak Harto, begitu salut atas keputusan alm dulu untuk support muslim Bosnia.  Melihat sikap beliau membuat anak bangsa menyadari betapa Pak Harto yg Militer lebih lembut hatinya kpd umat Islam dunia..
------------

Presiden ke-2 RI, Soeharto banyak mendapat sorotan dunia internasional ketika masih menjabat, salah satunya, adalah ketika pada dasawarsa 90-an, ia berkunjung ke kawasan Bosnia saat perang saudara Bosnia-Herzegovina bergolak. Ketika itu, Soeharto ingin menunjukkan simpati kepada kaum Muslim di sana, yang dalam posisi sebagai minoritas menjadi bulan-bulanan kebrutalan kelompok etnis lain.

Walaupun ketika itu di sana terdapat banyak faksi yang sulit ditebak posisinya, Soeharto memutuskan pergi ke Bosnia untuk menengahi konflik yang telah menimbulkan korban jiwa ribuan orang itu. Pada awal Maret 1995, Soeharto, yang seperti biasa didampingi beberapa pembantu terdekatnya, seperti Mensesneg Moerdiono dan Menlu Ali Alatas mengadakan lawatan ke Eropa.

Dalam agenda kunjungan itu, Soeharto juga akan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia, yang ketika itu menjadi kawasan perang yang brutal. ABRI (sekarang TNI) mengirimkan pasukan pendahulunya untuk menyiapkan kedatangan Soeharto beserta rombongan ke Bosnia, termasuk melakukan pendekatan kepada pemerintah Bosnia serta berbagai faksi yang sedang berseteru. Ketika rombongan presiden RI tiba di Eropa, belum ada kepastian bisa tidaknya rombongan itu ke Bosnia.

Dalam suasana belum pasti itu, sebuah pesawat milik PBB yang melintas di Bosnia ditembak jatuh pada 11 Maret 1995. Kejadian itu memberikan tekanan yang tinggi bagi rombongan Indonesia yang ingin ke Bosnia tersebut. Namun, Soeharto memutuskan tetap pergi ke medan tempur itu pada 13 Maret, atau dua hari setelah pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembak jatuh.

Persiapan pun terus dilaksanakan, mulai menyiapkan substansi pertemuan hingga persiapan pengamanan. Puluhan wartawan yang menjadi bagian rombongan kunjungan presiden pun berharap bisa ikut penerbangan "berani mati" tersebut.

Upaya rayu-merayu itu berjalan alot, karena sudah dipastikan bahwa jumlah rombongan yang akan ikut Soeharto ke Bosnia itu sangat terbatas. Akhirnya Moerdiono memutuskan bahwa hanya dua wartawan yang akan ikut terbang ke Bosnia, yakni dari LKBN Antaraserta Radio Republik Indonesia (RRI). Alasan pemilihan itu akhirnya dapat diterima oleh puluhan wartawan lainnya.

Tidak lama setelah pesawat PBB itu tinggal landas dari Kroasia, seluruh rombongan mendapat sebuah formulir berbahasa Inggris yang harus ditandatangani semua orang, termasuk Soeharto
Formulir itu berupa penegasan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerbangan itu.

Soeharto enggan mengenakan rompi anti peluru dan helm baja. Padahal semua memakai rompi antipeluru seberat 12 kilogram yang bisa menahan proyektil M-16. “Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja,” ujar Soeharto kepada Sjafrie. (Soeharto, The Untold Stories)

Pak Harto tetap menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. “Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah,” terang Sjafrie.

Setelah terbang sekitar satu jam, akhirnya pesawat buatan Rusia itu mendarat dengan mulus di Sarajevo. " Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” cerita Sjafrie Syamsudin.

Perjalanan Soeharto ke medan perang itu, walaupun tidak diikuti dengan pemberitaan bombastis dan internasional tetap dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah.
Lawatan itu akhirnya menghasilkan berdirinya sebuah masjid megah di ibu kota Bosnia yang merupakan hasil penyaluran bantuan banyak dermawan asal Indonesia.

Nama masjid ini dinamai dengan nama yang sama dengan Masjid nasional Indonesia di Jakarta, Istiqlal. Hingga kini sebagian orang Bosnia menyebut masjid ini dengan nama Masjid Soeharto atau Masjid Indonesia

Pak Haji Soeharto, selalu dirindukan.. Copas dari WA kiriman Yusril Ihza Mahendra

Pas jomblo, aktif dakwah. Pas nikah, raib musnah

Bener gak nih,  Pas jomblo, aktif dakwah. Pas nikah, raib musnah !

Ini drama di mana-mana.

Anehnya, polanya selalu sama. Pas ta'aruf terutama. Bahwa mereka selalu bilang: rumah tangga nanti untuk dakwah juga. Karenanya, tidak ada ceritanya dakwah kendor setelah nikah.

Itu komitmen bersama. Ikhwan dan akhawat. Suami dan istri.

Tapi, lidah memang tak bertulang. Sebelum nikah, bilang ini-itu super gampang. Karena belum mengalami mahligai pernikahan.

Setelah nikah, barulah ketemu temboknya. Batu sandungannya. Seribu satu alasan kenapa dakwah kayaknya sah-sah saja kendor.

Masa awal nikah, dunia serasa milik berdua. Miliaran yang lain ngontrak. Di sini, jiwa menemukan kenyamanan baru. Hidup terasa lebih enak. Lebih segar. Sangat beda dibandingkan masa-masa sendiri.

Lalu, katakanlah istri hamil. Mulai sibuk memenuhi segala kebutuhan dan persiapan lahiran. Pergi ke dokter. Beli makanan. Bantu-bantu ngurus rumah. Siap-siap jadi tukang pijit karena doi bakal sering pegel-pegel. Atau jadi perawat yang rutin nganterin vitamin buat diminum tiap hari.

Lahiran bayi, makin sibuk lagi. Ngurus KK, administrasi, beli popok, baju, celana. Beli popok kain. Ke dokter kalau debay sakit.

Semuanya diurus sambil cari nafkah. Pergi pagi, pulang petang.

Coba, mau ngurus dakwahnya di mana?

Masuk akal kan, kenapa banyak yang The End album dakwahnya.

Bukan cuma ikhwannya, akhawatnya juga. Malah ini yang paling sering musnah dari lapangan. Alasannya ya ngurus bayi kecil. Bayi gede. Cucian nggak ada habisnya. Jemur tiada hentinya. Nyapu, ngepel, sampai rumahnya tipis.

Ke mana itu omongan sebelum nikah? Nguap. Nggak tahu ke mana.

Lalu gimana dong?

Ini pergulatan hidup masing-masing. Tapi garisbawahi: semua ucapan akan menemui masa-masa pembuktiannya.

Kalau dulu pernah komitmen tetap ngurus dakwah, ya buktikan.

Jangan ngomong doang.

Tahu kok, rumah tangga itu sibuk. Tahu banget. Tapi kalau sudah komitmen, ya lakukan. Dengan segala cara. Bikin prioritas. Bikin standar minimal. Masak iya nggak kepegang tuh, urusan dakwah sekali seminggu?

Yang akhawat, suaminya jangan dibekep aja dalam rumah. Suruh ke luar. Dunia dakwah butuh tenaga dan pikirannya. Buat apa laki-laki itu ditarbiyah bertahun-tahun, tapi ending-nya malah cuma di rumah dan jalan-jalan pas weekend?

Yang ikhwan, itu istrinya di-upgrade. Suruh ikut kajian keilmuan. Suruh megang ngaji, walau di rumah. Suruh ikut acara sosial atau bantu-bantu kegiatan dakwah. Dia itu madrasatul uula. Sekolah pertama anak-anak kita. Bakal buteg pikirannya kalau cuma ketemu urusan bersih-bersih setiap hari.

Masuk hamil kedua, istri saya malah dapat tawaran ngajar. Sabtu buat anak-anak. Minggu untuk muslimah muda.

"Diambil nggak, A?" tanya istri.

"Ambil." Jawab saya. Tanpa pikir panjang.

Tiap pekan, ada waktu di mana istri juga merelakan saya pergi. Ngurus sesuatu.

Ini bagian dari melatih jiwa kami.

Agar tetap komitmen dengan janji sebelum nikah.

Bahwa rumah tangga kami buat dakwah.

Bukan buat diri sendiri saja.

Kisah Nenek yang Tertinggal Pesawat Haji

Kisah nyata Air Mata Tangis itu Benar-benar Mengubah Jalannya Takdir 

Ini adalah kisah nyata yang tercecer dari pelaksanaan haji tahun ini. Seorang perempuan tua dari Aljazair menangis di ruang tunggu bandara. Ia benar-benar ketinggalan pesawat yang akan membawanya menunaikan ibadah haji. Ia terus menangis karena keinginannya untuk melaksanakan ibadah haji,  kerinduannya pada Allah SWT dan keinginan untuk menjawab seruan Allah-Nya waktu itu ternyata batal karena ketinggalan pesawat. Nenek-nenek itu terus menerus menangis. Ia tidak mau meninggalkan ruang tunggu di bandara itu sambil terus memegang ticket pesawat yang bernomor kursi pesawat itu.........                                                       

Sementara itu, pilot pesawat yang mengangkut jamaah haji dari Aljazair menuju Saudi Arabia itu, di udara saat terbang itu mendengar suara gemeretak pada mesin pesawatnya yang dianggapnya mengalami kerusakan di mesin.. Hal itu memaksanya untuk  memutar pesawat itu kembali ke Aljazair, kembali mendarat di airport yang beberapa menit lalu ditinggalkannya.
Di bandara, seluruh penumpang diturunkan, dan diminta untuk menunggu lagi di Ruang Tunggu. Tapi petugas bandara tidak menemukan ruangan tunggu yang kosong, kecuali ruangan tempat di mana perempuan tua itu sedang menangis.
Bisa dibayangkan bagaimana takjubnya perempuan tua itu, karena melihat teman-temannya sesama jamaah haji datang kembali. Ia merasa seperti bermimpi.
Dari mulutnya tidak henti-hentinya ia mengucapkan kata syukur.
Ajaibnya lagi, setelah diperiksa dengan seksama, ternyata keadaan pesawat itu baik -baik saja dan tidak ada kerusakan sama sekali. Pemeriksaan mesin pesawat tidak memakan waktu lama, Pesawat bisa kembali segera terbang. Sang nenek pun kini bisa ikut, melaksanakan ibadah hajinya.

Subhanallah. Ini ekspresi dosis tinggi dari the power of Imtaq-In ahsantum ahsantum li anfusikum. 

Pesawat dengan 200 penumpang itu ternyata harus kembali ke bandara hanya untuk menjemput seorang perempuan tua yang rindu ingin menjawab seruan Tuhan-Nya.
Air mata apa yang ia teteskan sehingga mampu mengetuk pintu langit ?
Keyakinan apa yang ia miliki sehingga mampu mengubah jalannya takdir?

Bila segalanya berlalu darimu, bila semua pintu telah tertutup, tetapi engkau tetap bergantung dan berharap pada ALLAH, maka IA akan selalu ada untukmu.

Kisah ini menjadi bukti bahwa mukjizat do'a  masih terjadi dan akan selalu terjadi, di zaman yang bukan zaman Nabi-Nabi pun. 

Ya Allah, ampunilah  dosaku, dosa ibu bapa ku, keluarga ku,saudaraku dan setiap orang yang meng-klik Suka, share & berkomentar "aamiin"  dan jangan Engkau cabut nyawa kami saat tubuh kami tak pantas berada di SurgaMu. Aamiin... 
.
Sobat sekarang anda memiliki dua pilihan ,
1. Membiarkan sedikit pengetahuan ini hanya dibaca disini
2. Membagikan pengetahuan ini kesemua teman facebookmu, insyallah bermanfaat dan akan menjadi pahala bagimu. Aamiin..

Boleh di SHARE sebanyak mungkin!!

Minggu, 03 September 2017

*Rohingnya Butuh Doa dan Lobi Diplomasii

*Rohingnya Butuh Doa dan Lobi Diplomasi Bukan Hoax*

Beberapa hari lalu saya menghubungi Dubes RI di Myanmar ingin tahu lebih jauh soal Rohingnya. Saya mengenal bapak Ito Sumardi sejak 2014 lalu. Beliau seorang Jenderal polisi dengan jam terbang lua biasa.



Hubungan Diplomasi RI - Myanmar sangat hangat. Dalam konflik Rohingnya, Pemerintah RI memiliki peran cukup strategis terutamanya dalam menjembatani kepentingan kemanusiaan. Setidaknya sudah ada 6 sekolah RI yang di bangun untuk menjembatani hubungan antar etnik di kota Rakhine ini, dalam waktu dekat juga akan di bangun Rumah sakit RI dikota Rakhine untuk minimalisir jatuhnya korban konflik lebih banyak.

Loby diplomatik untuk negara perbatasan sekitar Rohingnya agar mau menampung pengungsi juga di lakukan Pemerintah RI. Hari ini Menlu RI juga akan melakukan kunjungan Diplomatik bertemu National Security Advicer Myanmar, Aung San Su Kyi untuk melakukan pembicaran lebih lanjut. Menlu RI Retno LP Marsudi menjadi satu satunya Menteri luar negeri yang di ijinkan berdialog dengan Aung san su kyi tentang Rohingnya. Langkah ini di apresiasi luar biasa oleh PBB dan sejumlah negara Islam.

Mendengar paparan beliau saya heran dengan adanya desakan dari sejumlah pihak untuk menarik beliau dari Myanmar sebagai 'hukuman' untuk tindakan militer Myanmar. Padahal dengan keberadaan beliau di sana jauh lebih banyak yang bisa dilakukan.

Konflik Rohingnya menjadi alat propaganda. Beragam gambar sadis dan banyak yang hoax beredar. Seruan provokasi beredar. Kita semua prihatin dengan pengusiran dan pembunuhan yang menimpa etnik Rohingnya, tetapi menyebar info hoax untuk mendramatisir situasi justru akan memanaskan situasi.

Dari Info yang berkembang di Rohingnya ada gerakan yang namanya RSO (Rakhine Solidarity Organisation) yang masuk ke dalam daftar kelompok teroris versi Amerika Serikat.

Setelah ISIS tercerai berai, ratusan pendukung ISIS dari Indonesia kembali dari Suriah. Menurutnya, sebagian dari mereka melakukan kegiatan di Indonesia, sebagian bergabung ke Filipina selatan, dan sebagian lagi masuk ke Malaysia.

Nah yang di Malaysia ada indikasi mereka akan berangkat ke Myanmar. Kita perlu tahu sistem pengawasan orang asing di Myanmar sangat ketat tapi tidak menutup kemungkinan kalau mereka masuk dari Bangladesh karena perbatasan di sana sangat sulit diawasi.

Dalam situasi provokasi dan konflik berkepanjangan bukan tidak mungkin Rakhine akan berubah menjadi Suriah atau Marawi kedua. Jalan panjang perdamaian dan cita hidup berdampingan makin jauh diraih. Etnik Rohingnya adalah etnik terbuang, mereka tidak di akui sebagai orang Myanmar, tradisi dan budaya jauh berbeda. Bahkan bahasa Myanmar etnik Rohingnya banyak yang  tidak mengerti. Begitu juga di Bangladesh mereka juga ditolak, dianggap orang asing. Mereka terusir dan terbuang.

*Ladang Minyak dan Gas*

Yang menjadi catatan kita, wilayah Arakan - Rakhine yang di huni mayoritas etnis Rohingya adalah ladang minyak dan gas. Artinya ada dugaan kuat konflik ini didasarkan pada perebutan secara paksa tanah dan sumber daya, khususnya minyak dan gas, di wilayah-wilayah sekitar. Catatan berikut mungkin sedikit membantu :

1). Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki per hari) dan pipa minyak (mulai beroperasi 1 Desember 2013 dengan kapasitas 400 ribu barrels per hari) dari Kyauk Phyu ke perbatasan China sepanjang 803 km - yang dikelola oleh konsorsium bersama dengan komposisi kepemilikan saham 50,9 % CNPC (China), 25,04% Daewoo International (Korea), 8,35% ONGC (India), 7,37% MOGE (Myanmar), 4,17% GAIL (India) dan 4,17% investor-investor swasta lainnya;

2). Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 105,6 juta kaki kubik per hari) dari Shwe ke Kyauk Phyu sepanjang 110 km - yang dikelola oleh konsorsium bersama dengan komposisi kepemilikan saham 51% Daewoo International (Korea), 17% ONGC (India), 15% MOGE (Myanmar), 8,5% GAIL (India) dan 8,5 KOGAS (Korea);

3). Blok-blok minyak dan gas di Semenanjung Rakhine di mana Daewoo International (Korea), ONGC (India), MOGE (Myanmar), GAIL (India), KOGAS (Korea), Woodside Petroleum (Australia), CNPC (China), Shell (Belanda/Inggris), Petronas (Malaysia), MOECO (Jepang), Statoil (Norweigia).

Kemudian,  Ophir Energy (Inggris), Parami Energy (Myanmar), Chevron (Amerika Serikat), Royal Marine Engineering (Myanmar), Myanmar Petroleum Resources (Myanmar), Total (Prancis), PTTEP (Thailand) dan Petronas Carigali (Malaysia) beroperasi dan berproduksi.

Wilayah tersebut dilaporkan memiliki cadangan terbukti sebesar 7,836 triliun kaki kubik gas dan 1,379 milyar barel  minyak - yang beberapa blok di antaranya berproduksi sejak 2013, ditawarkan tahun ini sebagai temuan baru, dan beberapa blok lainnya jatuh tempo kontraknya tahun 2017 ini; dan

4). Blok-blok minyak dan gas di daratan Arakan di mana North Petro-Chem Corp (China), Gold Petrol (Myanmar), Interra Resources (Singapura), Geopetrol (Prancis), Petronas Carigali (Malaysia), PetroleumBrunei (Brunei), IGE Ltd. (Inggris), EPI Holdings (Hongkong/China), Aye Myint Khaing (Mynmar), PTTEP (Thailand).

Kemudian,  MOECO (Jepang), Palang Sophon (Thailand), WIN Resources (Amerika Serikat), Bashneft (Russia), A1 Construction (Myanmar), Smart Technical Services (Myanmar), Myanmar Petroleum Resources (Myanmar) dan ONGC (India) beroperasi dan berproduksi, di mana daerah tersebut dilaporkan memiliki cadangan terbukti sebesar 1,744 triliun kaki kubik gas dan 1,569 milyar barel minyak - yang beberapa blok di antaranya jatuh tempo kontraknya pada tahun 2017 ini.

Terlepas dari itu semua. Upaya Diplomatik RI untuk Rohingnya patut kita hormati dan dukung. Salah satunya jangan menjadi penyebar Hoax dan kebencian. Rohingnya adalah konflik politik bukan Agama. Dalam situasi ini Rohingnya lebih butuh dukungan doa dan loby diplomatik daripada foto Hoax dan khutbah kebencian.

Salam kurban asa untuk Raisa

*Awan Kurniawan